Berikut ini kami sampaikan hukum oral sex dari beberapa sumber

 

Islamedia

Bismillah wal hamdulillah was Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalhi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

 

Hukum oral seks, baik yang melakukan adalah suami (cunilingus), atau isteri (fellatio), para ulama kontemporer (zaman sekarang) berbeda pendapat. Mereka terbagi atas tiga golongan. Ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan. Sedangkan ulama klasik, setahu saya belum pernah mendiskusikannya. Wallahu A’lam.

 

Golongan yang mengharamkan, mereka beralasan dengan najisnya madzi yang ada pada kemaluan baik laki atau wanita ketika sedang syahwat, yang jika tertelan maka itu haram. Tentang najisnya madzi, para ulama kita semua sepakat, tidak berbeda pendapat.

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Dari ‘Ali, dia berkata: “Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka aku perintah seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantaran posisiku sebagai mantu beliau (maksudnya Ali malu bertanya sendiri), maka orang itu bertanya, lalu Rasulullah menjawab: “Wudhulah dan cuci kemaluanmu.” (HR. Bukhari No. 269)

 

Hadits ini menunjukkan kenajisan madzi, hanya saja tidaklah wajib mandi janabah, melainkan hanya wudhu sebagaimana teks hadits tersebut. Oleh karena madzi adalah najis maka ia haram tertelan, yang sangat mungkin terjadi ketika oral seks. Alasan lainnya, karena oral seks merupakan cara binatang, dan kita dilarang menyerupai binatang. Wallahu A’lam.

 

Golongan yang memakruhkan, mereka beralasan bahwa  oral seks belum tentu menelan madzi melainkan hanya sekedar kena, baik karena dikecup atau jilat. Mulut atau lidah yang terkena madzi, tentunya sama saja  dengan kemaluan suami yang menyentuh madzi isteri ketika coitus (jima’). Sebab ketika jima’,  otomatis madzi tersebut pasti mengenai kemaluan ‘lawannya.’ Nah, jika itu boleh, lalu apa bedanya jika mengenai anggota tubuh lainnya, seperti mulut? Sama saja. Hanya saja, hal tersebut merusak muru’ah (akhlak baik) dan menjijikan. Lagi pula tidak sepantasnya, mulut dan lidah yang senantiasa berdzikir dan membaca Al Quran, digunakan untuk hal itu. Oleh karena itu bagi mereka hal tersebut adalah makruh, tidak sampai haram.

 

Golongan yang membolehkan, mereka beralasan bahwa suami bagi isteri, atau isteri bagi suami adalah halal seluruhnya, kecuali dubur dan ketika haid. Sedangkan alasan-alasan pihak yang mengharamkan (tertelannya madzi) sudah dijawab, dan alasan pihak yang memakruhkan (merusak muru’ah dan menjijikkan) pun bagi golongan ini tidak bisa diterima.

 

Alasan merusak muru’ah (citra diri/akhlak baik) adalah alasan yang lemah, sebab dahulu Umar bin Al Khathab ketika dia menjima’ isterinya dari belakang (tapi bukan dari dubur) istilahnya doggy style yang jelas-jelas menyerupai  binatang ternyata itu dibolehkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal UmarRadhiallahu ‘Anhu merasa bersalah, karena itu bukan kebiasaannya dan bukan kebiasaan kaumnya. Sebagaimana oral seks hari ini bukanlah kebiasaan orang Timur, melainkan kebiasaan orang Barat. Namun, demikian tidak ada satu pun riwayat yang berindikasi mencela Umar dalam hal ini, yang ada justru sebaliknya.

 

Alasan menjijikan juga  alasan yang lemah, sebab jijik atau tidak, sifatnya sangat relatif dan personally (pribadi). Tidak sama pada masing-masing orang. Bila ada  orang merasa jijik dengan kulit ayam, tidak berarti kulit ayam adalah haram atau makruh. Khalid bin Walid pernah makan biawak di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam namun tidak dilarang oleh Rasulullah, walau pun dia tidak suka, walau itu menjijikan, karena makan biawak bukanlah kebiasaan manusia di daerah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

 

Dalam riwayat yang shahih dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyuruh suku Urainah untuk meminum air kencing Unta untuk obat. Padahal, bisa jadi bagi sebagian orang kencing Unta adalah menjijikan, tapi riwayat itu dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang sucinya air kencing Unta. Wal hasil, masalah ‘perasaan’ jijik bukanlah ukuran dan alasan diharamkannya sesuatu.

 

Golongan yang membolehkan juga beralasan pada ayat berikut:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah (2): 223)

Anna syi’tum (bagaimana saja kamu kehendaki) hanya berlaku pada qubul (kemaluan) bukan dubur.

 

Imam Al Qurthubi –seorang ulama tafsir madzhab Maliki- berkata:

وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه.

“Telah berkata Ashbagh dari golongan ulama kami (Maliki): “Boleh bagi suami menjilat kemaluan isterinya dengan lidahnya.”   (Imam Al Qurthubi,  Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Juz. 12, Hal. 222. Dar Ihya Ats Turats Al ‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H)

 

Perlu diketahui, semua hadits-hadits yang melarang melihat kemaluan isteri atau suami, adalah dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Justru bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan sebaliknya. Insya Allah Ta’ala akan saya bahas di lain kesempatan.

 

Pandangan Syaikh Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah:

Beliau berkata: “Di dalam masyarakat seperti Amerika dan masyarakat Barat lainnya, terdapat tradisi dan kebiasaan dalam hubungan biologis antara suami isteri yang berbeda dengan kebiasaan kita, seperti bertelanjang bulat,  suami melihat kemaluan isteri, atau isteri mempermainkan kemaluan suami, atau mengecup kemaluan suami, dan sebagainya yang apabila telah menjadi biasa menjadi tidak menarik dan membangkitkan syahwat lagi, sehingga memerlukan cara-cara lain yang kadang hati kita tidak menyetujuinya.Ini merupakan suatu persoalan dan mengharamkannya –atas nama agama- juga merupakan persoalan lain lagi. Dan tidak boleh sesuatu diharamkan kecuali jika ditemukan nash (teks agama) yang sharih (jelas) dari Al Quran dan As Sunnah yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash, maka pada dasarnya adalah boleh.

 

Ternyata, tidak ada nash yang shahih dan sharih yang menunjukkan haramnya tindakan suami isteri seperti itu. Oleh karena itu, dalam kunjungan saya ke Amerika yakni ketika menghadiri Muktamar Persatuan Mahasiswa Islam dan mengunjungi pusat-pusat Islam di berbagai wilayah di sana, apabila saya menerima pertanyaan mengenai masalah itu –biasanya pertanyaan datangnya dari wanita muslimah Amerika- maka saya cenderung memudahkannya, bukan mempersulit, melonggarkannya bukan mengetatkannya, memperbolehkannya dan tidak melarangnya.” (Dr. Yusuf Al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid. 2, Hal. 492-493. Cet. 2 1996M. Gema Insani Press, Jakarta). Demikian. Wallahu A’lam. Farid Nu’man Hasan

Muhammadiyah

Pada dasarnya, oral sex itu jika dilakukan oleh pasangan suami istri sebagai bagian dari proses merangsang sebelum persetubuhan maka perbuatan itu mungkin masih bisa dikatakan dalam batas kewajaran. Dan ditinjau dari segi medis pula, hal ini tidak berdampak apa pun kecuali sebelumnya telah terinfeksi penyakit kelamin atau mulut. Namun yang perlu ditekankan di sini ialah, bagi mayoritas pasangan suami istri, oral sex adalah sesuatu yang menjijikkan. Apalagi air yang keluar dari kemaluan sebelum keluarnya sperma adalah air madzi yang najis dan berdampak tidak baik dari segi medis. Tambahan pula, fungsi mulut bukan untuk aktivitas seperti itu.
Dan apabila oral sex dilakukan sengaja untuk mengeluarkan sperma, maka hal ini hukumnya adalah ma­kruh yakni lebih baik ditinggalkan. Hal ini, sekali lagi karena kurang etis. Tapi hukumnya tidak sampai haram, karena tidak ada dalil pasti yang mengharamkannya, terutama jika kedua-dua pasangan suami istri itu menghendakinya.

Hukum makruh itu artinya sebaiknya ditinggalkan. Jadi dengan demikian oral sex itu lebih baik di­tinggalkan meskipun ada dalil yang membenarkannya, yaitu firman Allah yang bersifat umum:
6
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu (zina, homoseksual, dan sebagainya) maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Qs Al-Mukminun [23]: 5-7].

dicuplik dari  Suara Muhammadiyah

 

VOA Islam

Sesungguhnya asal dalam hubungan suami istri adalah mubah, kecuali apa yang disebutkan larangannya oleh nash: berupa mendatangi istri pada dubur (anus)-nya, menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah.

Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah satu pasangan menjilati kemaluan pasangannya, dan praktek dalam bersenang-senang yang telah disebutkan dalam pertanyaan, maka itu tidak apa-apa berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1. Itu termasuk dari keumuman bersenang-senang yang dimubahkan.

2. Jika coitus dibolehkan yang merupakan puncak bersenggama (bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.

3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali pengecualian yang telah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

4. Firman Allah Ta’ala,

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 223)

Ibnu Abidin al-Hanafi berkata dalam Radd al-Mukhtar: Abu Yusuf pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang laki-laki yang membelai farji istrinya dan sang istri membelai kemaluan suaminya untuk membangkitkan syahwatnya, apakah menurut Anda itu tidak boleh? Beliau menjawab, “Tidak, aku berharap itu pahalanya besar.”

Al-Qadhi Ibnul Arabi al-Maliki berkata, “Manusia telah berbeda pendapat tentang bolehnya seorang suami melihat farji (kemaluan) istrinya atas dua pendapat: salah satunya,membolehkan, karena jika ia dibolehkan menikmati (istrinya dengan jima’) maka melihat itu lebih layak (bolehnya). . . . . salah seorang ulama kami, Asbagh (Ulama besar Madhab Maliki di Mesir) berkata: Boleh baginya (suami) untuk menjilati –kemaluan istrinya- dengan lidahnya.”

Dalam Mawahib Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil disebutkan, “Ditanyakan kepada Ashbagh; Sesungguhnya suatu kaum menyebutkan kemakruhannya. Lalu beliau menjawab: orang yang memakruhkannya, dia hanya memakruhkan dari sisi kesehatan (medis), bukan berdasarkan ilmu (dalil). Itu tidak apa-apa, tidak dimakruhkan. Diriwayatkan dari Malik, beliau pernah berkata: tidak apa-apa melihat farji (kemaluan) saat berjima’. Dalam satu riwayat terdapat tambahan, “Dan ia menjilatinya dengan lidahnya.”

Al-Fannani al-Syafi’i berkata: “Seorang suami boleh apa saja setiap melakukan hubungan dengan istrinya selain lubang duburnya, bahkan menghisap clitorisnya.

Al-Mardawi al-Hambali berkata dalam al-Inshaf: Al-Qadhi berkata dalam al-Jami’: “Boleh mencium farji (kemaluan) istri sebelum jima’ dan memakruhkannya sesudahnya . .  istri juga boleh memegang dan menciumnya dengan syahwat. Ini dikuatkan dalam kitab al-Ri’ayah, diikuti dalam al-Furu’, dan diperjelas oleh Ibnu ‘Aqil.

Namun jika terbukti jelas cara bercumbu semacam itu menyebabkan penyakit dan membahayakan pelakunya, maka saat itu ia wajib meninggalkannya berdasarkan sabda nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Tidak boleh (melakukan sesuatu) yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dalam sunannya)

Begitu pula apabila salah seorang pasangan merasa tersakiti (tidak nyaman) karena perbuatan tersebut dan membencinya: maka wajib atas pelaku (suami)-nya untuk menghentikannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. Al-Nisa’: 19)

Dalam hal ini harus diperhatikan tujuan dasar dari hubungan suami istri, yakni permanen dan kontinuitasnya. Asal dari akad nikah adalah dibangun di atas kelanggengan. Allah Ta’ala telah meliput akad ini dengan beberapa peraturan untuk menjaga kelestariannya dan menguatkan orang yang menjalaninya sesuai dengan ketentuan syariat bukan dengan sesuatu yang menyelisihinya. Masuk di dalamnya solusi berhubungan antar keduanya. . .  Wallahu Ta’ala A’lam. Sumber VOA Islam

Rumaysho

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”

Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.”  (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 100: 13, Asy Syamilah)

Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?”

Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus  mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah. Dinukil dari rumaysho

Nahdlatul Ulama

Hal pertama yang harus dipahami dalam hal ini adalah bahwa seorang suami boleh melakukan aktivitas seks dengan istrinya kapan saja dan dengan gaya apa saja, kecuali yang dilarang oleh syara’, seperti menyetubuhi isteri melalui anus.

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِين

Artinya, “Isteri-isterimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman,” (QS. Al-Baqarah [2]: 223)

Masalah agama yang berkaitan dengan aktivitas seksual tidak perlu ditutup-tutupi. Untuk kepentingan hukum, Rasulullah SAW tidak segan-segan menerangkannya seperti hadits berikut ini.

إنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِ مِنْ الْحَقِّ لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ (رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ)

Artinya, “Sungguh Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Jangan kalian mendatangi isteri-isteri melalui anus mereka,” (HR Imam Syafi’i).

Atas dasar ini kemudian dikatakan bahwa suami boleh menikmati semua kenikmatan dengan isteri kecuali lingkaran di sekitar anusnya atau melakukan hubungan seks melalui dubur.

يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُلُّ تَمَتُّعٍ مِنْهَابِمَا سِوَىَ حَلْقَةِ دُبُرِهَا وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا

Artinya, “Diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersenang-senang dengan isteri dengan semua model kesenangan (melakukan semua jenis aktivitas seksual) kecuali lingkaran di sekitar anusnya, walaupun dengan menghisap klitorisnya,” (Lihat Zainudin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jakarta-Dar al-Kutub al-Islamiyyah, cet ke-1, 1431 H/2010 M, halaman 217).

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Asbagh, salah seorang ulama dari kalangan madzhab Maliki yang menyatakan bahwa suami boleh menjilati kemaluan isterinya. Hal ini sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi dalam tafsirnya.

وَقَدْ قَالَ أَصْبَغُ مِنْ عُلَمَائِنَا: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ

Artinya, “Ashbagh salah satu ulama dari kalangan kami (Madzhab Maliki) telah berpendapat, boleh bagi seorang suami untuk menjilati kemaluan isteri dengan lidahnya,” (Lihat al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, Kairo-Darul Hadits, 1431 H/2010 M, juz XII, halaman 512).

Namun menurut Qadli Abu Ya’la salah seorang ulama garda terdepan di kalangan madzhab Hanbali berpandangan bahwa aktivitas tersebut sebaiknya dilakukan sebelum melakukan hubungan badan (jima’). Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Kasyful Mukhdirat war Riyadlul Muzhhirat li Syarhi Akhsaril Mukhtasharat yang ditulis oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ba’ali.

وَقَالَ ( القَاضِي ) : يَجُوزُ تَقْبِيلُ الْفَرْجِ قَبْلَ الْجِمَاعِ وَيُكْرَهُ بَعْدَهُ

Artinya, “Al-Qadli Abu Ya’la al-Kabir berkata, boleh mencium vagina isteri sebelum melakukan hubungan badan dan dimakruhkan setelahnya,” (Lihat Abdurrahman bin Abdullah al-Ba’li al-Hanbali, Kasyful Mukhdirat, Bairut-Dar al-Basya`ir al-Islamiyyah, 1423 H/2002 M, juz II, halaman 623).

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi para suami, gaulilah isteri dengan baik dan bersikaplah lembut kepadanya, niscaya isteri akan tambah sayang kepada suami. Demikian sebaliknya. Para istri juga boleh menikmati hubungan seksual dengan suaminya di bagian manapun dengan catatan tidak melanggar ketentuan di atas. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)